60 tahun yang lalu, tepatnya 21-22 Oktober 1945, wakil-wakil dari cabang NU
di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya. Dipimpin langsung oleh Rois
Akbar NU Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy’ary dideklarasikanlah perang kemerdekaan
sebagai perang suci alias jihad. Belakangan deklarasi ini populer dengan
istilah Resolusi Jihad.
Segera setelah itu, ribuan kiai dan santri bergerak ke Surabaya. Dua minggu
kemudian, tepatnya 10 November 1945, meletuslah peperangan sengit antara
pasukan Inggris melawan para pahlawan pribumi yang siap gugur sebagai syahid.
Inilah perang terbesar sepanjang sejarah Nusantara. Meski darah para pahlawan
berceceran begitu mudahnya dan memerahi sepanjang kota Surabaya selama tiga
minggu, Inggris yang pemenang Perang Dunia II itu akhirnya kalah.
Pasukan Inggris mendarat di Jakarta pada pertengahan September 1945 dengan
nama Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Pergerakan pasukan Inggeis
tidak dapat dibendung. Sementara pemerintah RI yang berpusat di Jakarta
menginginkan berbagai penyelesaian diplomatik sembari menata birokrasi negara
baru, mendorong terbentuknya partai-partai politik dan Tentara Keamanan Rakyat
(TKR), pasukan Inggris telah menduduki Medan, Padang, Palembang, Bandung, dan
Semarang lewat pertempuran-pertempuran dahsyat. Sebagian pendudukan ini juga
mendapat bantuan langsung dari Jepang yang kalah perang, sebagai konsekuensi
dari alih kuasa. Sedangkan kota-kota besar di kawasan timur Indonesia telah
diduduki oleh Australia.
Pasukan Inggris lalu masuk ke Surabaya pada 25 Oktober 1945, berkekuatan
sekitar 6.000 orang yang terdiri dari serdadu jajahan India. Di belakangnya
membonceng pasukan Belanda yang masih bersemangat menguasai Indonesia. Resolusi
Jihad meminta pemerintah untuk segera meneriakkan perang suci melawan penjajah
yang ingin berkuasa kembali, dan kontan disambut rakyat dengan semangat
berapi-api. Meletuslah peristiwa 10 November. Para kiai dan pendekar tua membentuk
barisan pasukan non reguler Sabilillah yang dikomandani oleh KH. Maskur. Para
santri dan pemuda berjuang dalam barisan pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh
H. Zainul Arifin. Sementara para kiai sepuh berada di barisan Mujahidin yang
dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah.
Di saat-saat yang bersamaan, saat-saat perang kemerdekaan sedang berkecamuk
dan terus digelorakan oleh para kiai dan santri, dinamika dan persaingan
politik dalam negeri semakin memanas. Pada bulan Oktober Partai Komunis
Indonesia (PKI) didirikan kembali. Lalu setelah Makloemat Iks (4 November)
dikeluarkan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, partai-partai politik lain juga
bermunculan. Dideklarasikanlah Pesindo dan partai Islam Masyumi. Lalu, Maklumat
Hatta 11 November mengubah pemerintahan presidensial menjadi parlementer,
pemerintah harus bertanggungjawab kepada KNIP yang berfungsi sebagai parleman.
Kabinet parlementer ditetapkan pada 14 November, dipimpin Perdana Menteri
Sjahrir dan Mentri Keamanan Amir Syarifudin.
Januari 1946, PNI dibentuk lagi tanpa Soekarno. Di sisi lain, “Tentara
profesional” dan kelompok gerilyawan melakukan konsolidasi. Pada saat-saat itu
juga Indonesia sedang mengalami “revolusi sosial” hingga ke desa-desa.
Pertikaian merajalela dan kekacauan tak terhindarkan lagi. Waktu itu timbul
pertikaian horisontal yang terkenal dengan “Peristiwa Tiga Daerah” yakni
Brebes, Pemalang dan Tegal. Kondisi inilah, tak pelak memberi peluang bagi
upaya-upaya militer Belanda (yang sebelumnya datang membonceng sekutu) untuk
semakin merangsek masuk menguasai kota-kota besar di Indonesia. Belanda semakin
intensif menguasai Jakarta, sehingga Pemerintah Republik terpaksa mengungsi ke
Yogyakarta pada Januari 1946.
Maret 1946, PM Sjahrir mencapai kesepakatan rahasia dengan van Mook bahwa
Belanda mengakui kedaulatan RI secara de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatera.
Sementara Belanda berdaulat atas wilayah-wilayah lainnya. Kedua belah pihak
juga menyepakati rencana pembentukan uni Indonesia-Belanda.
Di tengah tekanan Belanda itu NU menyelenggarakan muktamar yang pertama
setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Muktamar ke-16 itu diadakan di
Purwekorto pada 26-29 Maret 1946. Salah satu keputusan pentingnya, NU
menyetuskan kembali Resolusi Jihad yang mewajibkan tiap-tiap umat Islam untuk
bertempur mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang saat itu berpusat di
Yogyakarta. Kewajiban itu dibebankan kepada setiap orang Islam, terutama
laki-laki dewasanya, yang berada dalam radius 94 km dari tempat kedudukan
musuh. (Radius 94 diperoleh dari jarak diperbolehkannya menjamak dan menqoshor
sholat). Di luar radius itu umat Islam yang lain wajib memberikan bantuan. Jika
umat Islam yang dalam radius 94 kalah, maka umat Islam yang lain wajib
memanggul senjata menggantikan mereka.
Dalam podatonya, Mbah Hasyim Asy’ari kembali menggelorakan semangat jihad
di hadapan para peserta muktamar. untuk disebarkan kepada seluruh warga
pesantren dan umat Islam. Syariat Islam menurut Mbah Hasyim tidak akan bisa
dijalankan di negeri yang terjajah. ”…tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan
kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan.” Kaum penjajah datang
kembali dengan membawa persenjataan dan tipu muslihat yang lebih canggih lagi.
Umat Islam harus menjadi pemberani.
Apakah ada dari kita orang yang suka ketinggalan, tidak turut berjuang pada
waktu-waktu ini, dan kemudian ia mengalami keadaan sebagaimana yang disebutkan
Allah ketika memberi sifat kepada kaum munafik yang tidak suka ikut berjuang
bersama rasulullah…
…
Demikianlah, maka sesungguhnya pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan
kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan
yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun.
Barang siapa memihak kepada kaum penjajah dan condong kepada mereka, maka
berarti memecah kebulatan umat dan mengacau barisannya…..
… maka barang siapa yang memecah pendirian umat yang sudah bulat, pancunglah
leher mereka dengan pedang siapa pun orangnya itu…..
Perang terus berkecamuk, jihad terus berlangsung. Belanda yang sebelumnya membonceng tentara Sekutu terus melancarkan agresi-agresi militernya. Pihak Inggris sebenarnya tidak senang dengan cara-cara yang ditempuh oleh Belanda. Pada Desember 1945 pemerintah Inggris secara tidak resmi mendesak pemerintah Belanda agar agar mengambil sikap yang lebih luwes terhadap Republik Indonesia. Pada 1946 diplomat Inggris, Sir Archibald Clark Kerr, mengusahakan tercapainya persetujuan Linggarjati antara republik Indonesia dengan Belanda. Persetujuan ditandatangani, namun Belanda tiba-tiba meancarkan agresi militernya. Menjelang akhir 1946, komando Inggris di Asia Tenggara dibubarkan, dan ”tanggung jawab” atas Jawa dan Sumatera diserahkan sepenuhnya kepada Belanda. Sejak itu, orang asing yang semakin terlibat dalam pertikaian antara Republik Indonesia dan Belanda, menggantikan Inggris, adalah Amerika Serikat. Mungkin sampai sekarang.
(A Khoirul Anam)