Kamis, 29 Juni 2023

 

Katib NU Pasuruan: IPNU-IPPNU Harus Bisa Edukasi Aswaja di Sekolah


Mokhamad Faisol

Ahad, 30 April 2023 | 19:00 WIB

 

Pasuruan, NU Online Jatim

Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) harus bisa mengedukasi para siswa dan siswi di sekolah negeri minimal mengenalkan Kitab Aqidatul Awam.


Hal itu diungkapkan Katib Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Pasuruan, KH Muhib Aman Ali saat Safari Syawal PC IPNU Kabupaten Pasuruan, Sabtu (29/04/2023).


"Siswa siswi yang ada di sekolah negeri khususnya SMA kurang memahami tentang Kitab Aqidatul Awam, maka IPNU-IPPNU harus masuk ke dalam sekolah negeri dengan bentuk apapun," ujarnya.


Kiai Muhib sapaan akrabnya mengaku, dalam pendidikan formal khususnya sekolah negeri minim sekali terdapat mata pelajaran Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). IPNU-IPPNU di sini harus membuat terobosan baru seperti menjadikan Aswaja sebagai ekstrakulikuler atau yang lain sebagainya.

Baca Juga:
Tiga Alasan Bergabung dengan IPNU IPPNU


"Zaman sekarang zaman media sosial, sedangkan di sana banyak tersebar kajian-kajian akidah di luar Aswaja meskipun ngakunya Aswaja," terangnya.


Lebih lanjut, materi yang dibawakan IPNU-IPPNU ketika ada di sekolah negeri yang dasar yakni tentang tata cara shalat dan bersuci, karena banyak dari mereka yang tidak mengetahui bersuci yang benar.


"Karena di sini ranahnya pelajar, maka materi yang disampaikan harus sesuai dengan kapasitasnya," paparnya.


Sementara Ketua PC IPNU Kabupaten Pasuruan, Nur Ali Farchan menambahkan, dalam waktu dekat kami akan melakukan kegiatan safari sekolah khususnya dalam memberikan pemahaman tentang Aswaja bersama tim PCNU Kabupaten Pasuruan melalui majelis rindu.


"Pada waktu bulan puasa kami sudah menggelar di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) Sukorejo. Kedepannya progam ini akan kami lakukan dan ada pembaharuan materi di antaranya materi tata cara shalat dan bersuci," tambahnya.

 

Editor: Yulia Novita Hanum

Rabu, 28 Juni 2023

 Hukum Sembelih Seekor Kambing untuk Kurban Sekeluarga



Assalamu 'alaikum wr. wb. 

Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang saya hormati. 

Belakangan ini saya resah atas beredarnya kabar seorang ustadz yang membolehkan kurban seekor kambing untuk beberapa orang karena Rasulullah SAW pernah melakukannya. Padahal yang saya tahu sejak dulu, kurban kambing hanya untuk satu orang.   

Pertanyaan saya, bolehkah kita berkurban satu kambing untuk beberapa orang karena mengikuti kurban Rasulullah SAW? Mohon penjelasannya. Kami ucapkan terima kasih. 

Wassalamu 'alaikum wr. wb. 

(Nurul Yaqin/Jakarta)

 Jawaban: 

Assalamu 'alaikum wr. wb. 

Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. 

Penyembelihan hewan kurban merupakan ibadah yang sangat dianjurkan di musim-musim haji. Para ulama telah menentukan waktu penyembelihan, cara penyembelihan, ketentuan pembagian daging kurban, dan juga hewan mana yang bisa menjadi hewan kurban.   

Rasulullah SAW pernah menyembelih satu hewan kurban yang diperuntukkan untuk dirinya dan umatnya yang demikian banyak itu. Hal ini bisa diketahui dari doa yang dibaca Rasulullah saat menyembelih hewan kurbannya sebagai berikut. 

اَللَّهُمَّ هَذَا عَنْ مُحَمَّدٍ وَعَنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ

Artinya, "Tuhanku, terimalah kurbanku ini untukku dan umatku." 

Hadits Rasulullah SAW ini dipahami oleh para ulama sebagai bentuk kepedulian Rasulullah SAW yang menyertakan umatnya dalam pahala kurban kambing yang dia sembelih. Sedangkan kurbannya itu sendiri hanya diperuntukkan bagi dirinya. Dengan kurban Rasulullah, gugurlah tuntutan ibadah kurban terhadap semua orang. 

Dari sini ulama menyimpulkan bahwa hukum ibadah kurban itu pada dasarnya sunah kifayah yang bila dikerjakan oleh salah seorang dari mereka, maka tuntutan berkurban dari mereka sudah memadai. Lain soal kalau kurban diniatkan nadzar, maka hukumnya menjadi wajib. Karenanya para ulama sepakat bahwa satu kambing hanya bisa diperuntukkan kurban bagi satu orang. Imam An-Nawawi menyebutkannya sebagai berikut. 

تجزئ الشاة عن واحد ولا تجزئ عن أكثر من واحد لكن إذا ضحى بها واحد من أهل البيت تأدى الشعار في حق جميعهم وتكون التضحية في حقهم سنة كفاية وقد سبقت المسألة في أول الباب

Artinya, "Seekor kambing kurban memadai untuk satu orang, dan tidak memadai untuk lebih dari satu orang. Tetapi kalau salah seorang dari anggota keluarga berkurban dengan satu ekor, maka memadailah syiar Islam di keluarga tersebut. Ibadah kurban dalam sebuah keluarga itu sunah kifayah. Masalah ini sudah dibahas di awal bab," (Lihat An-Nawawi, Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, juz 8, halaman 397). 

Secara lebih jauh, Ibnu Hajar mengulas praktik kurban Rasulullah SAW. Menurutnya, kurban memang untuk satu orang. Tetapi orang yang berkurban dapat berbagi pahala kepada orang lain.  

تُجْزِئُ ( الشَّاةُ ) الضَّائِنَةُ وَالْمَاعِزَةُ ( عَنْ وَاحِدٍ ) فَقَطْ اتِّفَاقًا لَا عَنْ أَكْثَرَ بَلْ لَوْ ذَبَحَا عَنْهُمَا شَاتَيْنِ مُشَاعَتَيْنِ بَيْنَهُمَا لَمْ يَجُزْ ؛ لِأَنَّ كُلًّا لَمْ يَذْبَحْ شَاةً كَامِلَةً وَخَبَرُ اللَّهُمَّ هَذَا عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّةِ مُحَمَّدٍ مَحْمُولٌ عَلَى التَّشْرِيكِ فِي الثَّوَابِ وَهُوَ جَائِزٌ وَمِنْ ثَمَّ قَالُوا لَهُ أَنْ يُشْرِكَ غَيْرَهُ فِي ثَوَابِ أُضْحِيَّتِهِ وَظَاهِرُهُ حُصُولُ الثَّوَابِ لِمَنْ أَشْرَكَهُ وَهُوَ ظَاهِرٌ إنْ كَانَ مَيِّتًا قِيَاسًا عَلَى التَّصَدُّقِ عَنْهُ وَيُفَرَّقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَا يَأْتِي فِي الْأُضْحِيَّةِ الْكَامِلَةِ عَنْهُ بِأَنَّهُ يُغْتَفَرُ هُنَا لِكَوْنِهِ مُجَرَّدَ إشْرَاكٍ فِي ثَوَابِ مَا لَا يُغْتَفَرُ ثُمَّ رَأَيْت مَا يُؤَيِّدُ ذَلِكَ وَهُوَ مَا مَرَّ فِي مَعْنَى كَوْنِهَا سُنَّةَ كِفَايَةٍ الْمُوَافِقُ لِمَا بَحَثَهُ بَعْضُهُمْ أَنَّ الثَّوَابَ فِيمَنْ ضَحَّى عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ لِلْمُضَحِّي خَاصَّةً لِأَنَّهُ الْفَاعِلُ كَالْقَائِمِ بِفَرْضِ الْكِفَايَةِ

Artinya, "(Seekor kambing) baik domba maupun kambing kacang itu memadai untuk kurban (satu orang) saja berdasarkan kesepakatan ulama, tidak untuk lebih satu orang. Tetapi kalau misalnya ada dua orang menyembelih dua ekor kambing yang membaur sebagai kurban bagi keduanya, maka tidak boleh karena masing-masing tidak menyembelihnya dengan sempurna. Hadits 'Tuhanku, inilah kurban untuk Muhammad dan umat Muhammad SAW,' mesti dipahami sebagai persekutuan dalam pahala. Ini boleh saja. Dari sini para ulama berpendapat bahwa seseorang boleh menyertakan orang lain dalam pahala kurbannya. Secara tekstual, pahala itu didapat bagi orang menyertakan orang lain. Ini jelas, meskipun orang yang disertakan itu sudah wafat. Hal ini didasarkan pada qiyas sedekah atas mayit. Tentu harus dibedakan antara sedekah biasa dan ibadah kurban sempurna. Karena di sini sekadar berbagi pahala kurban dibolehkan. Saya melihat dalil yang memperkuat pernyataan ini seperti pernah dijelaskan di mana hukum ibadah kurban adalah sunah kifayah. Hal ini sejalan dengan bahasan sejumlah ulama yang menyebutkan bahwa pahala orang yang berkurban untuknya dan keluarganya itu sejatinya untuk dirinya sendiri. Karena, orang pertama lah yang berkurban, sama halnya dengan orang yang menunaikan ibadah fardhu kifayah," 

(Lihat Ahmad bin Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, cetakan keempat, tahun 2011, juz 4, halaman 354-355).   

Bagaimana memahami kurban untuk satu orang sementara pahalanya bisa untuk orang lain? Sulaiman Al-Bujairimi menyelesaikan pernyataan yang tampak kontradiksi itu. Menurutnya, dua pernyataan itu tidak saling menegasikan. Demikian keterangannya. 

قَوْلُهُ : ( وَتُجْزِئُ الشَّاةُ ) فَإِنْ قُلْت إنَّ هَذَا مُنَافٍ لِمَا بَعْدَهُ حَيْثُ قَالَ : فَإِنْ ذَبَحَهَا عَنْهُ ، وَعَنْ أَهْلِهِ أَوْ عَنْهُ وَأَشْرَكَ غَيْرَهُ فِي ثَوَابِهَا جَازَ . أُجِيبُ : بِأَنَّهُ لَا مُنَافَاةَ لِأَنَّ قَوْلَهُ هُنَا عَنْ وَاحِدٍ أَيْ مِنْ حَيْثُ حُصُولِ التَّضْحِيَةِ حَقِيقَةً وَمَا بَعْدَهُ الْحَاصِلُ لِلْغَيْرِ إنَّمَا هُوَ سُقُوطُ الطَّلَبِ عَنْهُ ، وَأَمَّا الثَّوَابُ وَالتَّضْحِيَةُ حَقِيقَةً فَخَاصَّانِ بِالْفَاعِلِ عَلَى كُلِّ حَالٍ

Artinya, “(Satu ekor kambing [untuk satu orang, tidak lebih]). Kalau Anda bertanya, 'Pernyataan ini menafikan kalimat setelahnya yang menyebutkan (Kalau seseorang menyembelih kurban untuk dirinya dan keluarganya, atau menyertakan orang lain dalam pahala kurbannya, maka boleh)', kami akan menjawab bahwa pernyataan pertama tidak menafikan pernyataan kedua. Karena, frasa 'untuk satu orang' di sini maksudnya adalah hakikat kurban. Sementara frasa selanjutnya hanya menerangkan gugurnya anjuran sunah ibadah kurban ‘untuk orang lain’. Sedangkan perihal pahala dan kurban secara hakiki bagaimanapun itu khusus hanya untuk mereka yang berkurban,”

 (Lihat Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi alal Khathib, Beirut, Darul Fikr, 2007 M/1427-1428 H, juz 4, halaman 333).   

Ada baiknya kami sertakan di sini argumentasi yang diajukan Ibnu Rusyd dari Madzhab Maliki. Ia menjelaskan kenapa ulama sepakat kurban satu ekor kambing hanya untuk satu orang. 

وذلك أن الأصل هو أن لا يجزي إلا واحد عن واحد، ولذلك اتفقوا على منع الاشتراك في الضأن. وإنما قلنا إن الأصل هو أن لا يجزي إلا واحد عن واحد، لأن الأمر بالتضحية لا يتبعض إذ كان من كان له شرك في ضحية ليس ينطلق اسم مضح إلا إن قام الدليل الشرعي على ذلك

 Artinya, “Karena memang pada dasarnya ibadah kurban seseorang itu hanya memadai untuk satu orang. Karenanya para ulama sepakat dalam menolak persekutuan kurban beberapa orang atas seekor kambing. Kenapa kami katakan ‘pada dasarnya ibadah kurban seseorang itu hanya memadai untuk satu orang?' Pasalnya, perintah kurban tidak terbagi (untuk kolektif, tetapi per orang). Ketika orang bersekutu atas seekor hewan kurban, maka sebutan 'orang berkurban' tidak ada pada mereka. Lain soal kalau ada dalil syara' yang menunjukkan itu," 

(Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, halaman 396).   

Dari pelbagai keterangan di atas, kita dapat memahami bahwa ulama sepakat atas kurban satu ekor kambing hanya untuk seorang. Hanya saja pahalanya bisa dibagi kepada orang lain. Jadi dua hal ini harus dipisahkan, antara kurban dan pahala.   

Dari sini pula kita dapat memahami bahwa hadits adakalanya dapat langsung dipahami secara tekstual. Tetapi adakalanya pemahaman sebuah hadits tertunda karena menuntut analisa dan kajian lebih mendalam, tidak sekadar tekstual.   

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.   

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, Wassalamu’alaikum wr. wb   

Ustadz Alhafiz Kurniawan, Redaktur Keislaman NU Online

Sumber: https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail/hukum-sembelih-seekor-kambing-untuk-kurban-sekeluarga-T1XG4

 

Penjelasan Kurban Kambing Hanya untuk Satu Orang

Penjelasan Kurban Kambing Hanya untuk Satu Orang

Idul Adha sebentar lagi. Dan seiring dengan perayaan hari raya tersebut, ibadah yang mengiringi adalah di antaranya penyembelihan hewan. Karena penyembelihan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan saat Idul Adha. Dan para ulama telah menentukan waktu penyembelihan, cara penyembelihan, ketentuan pembagian daging kurban, dan juga hewan mana yang bisa menjadi hewan kurban. 


Rasulullah SAW pernah menyembelih satu hewan kurban yang diperuntukkan untuk dirinya dan umatnya yang demikian banyak itu. Hal ini bisa diketahui dari doa yang dibaca Rasulullah saat menyembelih hewan kurbannya sebagai berikut.

 

اَللَّهُمَّ هَذَا عَنْ مُحَمَّدٍ وَعَنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ

 

Artinya: Tuhanku, terimalah kurbanku ini untukku dan umatku.

 

 

Hadits ini dipahami oleh para ulama sebagai bentuk kepedulian Rasulullah SAW yang menyertakan umatnya dalam pahala kurban kambing yang disembelih. Sedangkan kurbannya itu sendiri hanya diperuntukkan bagi dirinya.

 

Dengan kurban Rasulullah, gugurlah tuntutan ibadah kurban terhadap semua orang. Dari sini ulama menyimpulkan bahwa hukum ibadah kurban itu pada dasarnya sunah kifayah yang bila dikerjakan oleh salah seorang dari mereka, maka tuntutan berkurban dari mereka sudah memadai. Lain soal kalau kurban diniatkan nadzar, maka hukumnya menjadi wajib.

 

Karenanya para ulama sepakat bahwa satu kambing hanya bisa diperuntukkan kurban bagi satu orang. Imam An-Nawawi menyebutkannya sebagai berikut.

 

 تجزئ الشاة عن واحد ولا تجزئ عن أكثر من واحد لكن إذا ضحى بها واحد من أهل البيت تأدى الشعار في حق جميعهم وتكون التضحية في حقهم سنة كفاية وقد سبقت المسألة في أول الباب

 

Artinya: Seekor kambing kurban memadai untuk satu orang, dan tidak memadai untuk lebih dari satu orang. Tetapi kalau salah seorang dari anggota keluarga berkurban dengan satu ekor, maka memadailah syiar Islam di keluarga tersebut. Ibadah kurban dalam sebuah keluarga itu sunah kifayah. Masalah ini sudah dibahas di awal bab. (lihat An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz 8, halaman 397).

 

Secara lebih jauh, Ibnu Hajar mengulas praktik kurban Rasulullah SAW. Menurutnya, kurban memang untuk satu orang. Tetapi orang yang berkurban dapat berbagi pahala kepada orang lain.

 

تُجْزِئُ ( الشَّاةُ ) الضَّائِنَةُ وَالْمَاعِزَةُ ( عَنْ وَاحِدٍ ) فَقَطْ اتِّفَاقًا لَا عَنْ أَكْثَرَ بَلْ لَوْ ذَبَحَا عَنْهُمَا شَاتَيْنِ مُشَاعَتَيْنِ بَيْنَهُمَا لَمْ يَجُزْ ؛ لِأَنَّ كُلًّا لَمْ يَذْبَحْ شَاةً كَامِلَةً وَخَبَرُ اللَّهُمَّ هَذَا عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّةِ مُحَمَّدٍ مَحْمُولٌ عَلَى التَّشْرِيكِ فِي الثَّوَابِ وَهُوَ جَائِزٌ وَمِنْ ثَمَّ قَالُوا لَهُ أَنْ يُشْرِكَ غَيْرَهُ فِي ثَوَابِ أُضْحِيَّتِهِ وَظَاهِرُهُ حُصُولُ الثَّوَابِ لِمَنْ أَشْرَكَهُ وَهُوَ ظَاهِرٌ إنْ كَانَ مَيِّتًا قِيَاسًا عَلَى التَّصَدُّقِ عَنْهُ وَيُفَرَّقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَا يَأْتِي فِي الْأُضْحِيَّةِ الْكَامِلَةِ عَنْهُ بِأَنَّهُ يُغْتَفَرُ هُنَا لِكَوْنِهِ مُجَرَّدَ إشْرَاكٍ فِي ثَوَابِ مَا لَا يُغْتَفَرُ ثُمَّ رَأَيْت مَا يُؤَيِّدُ ذَلِكَ وَهُوَ مَا مَرَّ فِي مَعْنَى كَوْنِهَا سُنَّةَ كِفَايَةٍ الْمُوَافِقُ لِمَا بَحَثَهُ بَعْضُهُمْ أَنَّ الثَّوَابَ فِيمَنْ ضَحَّى عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ لِلْمُضَحِّي خَاصَّةً لِأَنَّهُ الْفَاعِلُ كَالْقَائِمِ بِفَرْضِ الْكِفَايَةِ

 

Artinya: (Seekor kambing) baik domba maupun kambing kacang itu memadai untuk kurban (satu orang) saja berdasarkan kesepakatan ulama, tidak untuk lebih satu orang. Tetapi kalau misalnya ada dua orang menyembelih dua ekor kambing yang membaur sebagai kurban bagi keduanya, maka tidak boleh karena masing-masing tidak menyembelihnya dengan sempurna. Hadits ‘Tuhanku, inilah kurban untuk Muhammad dan umat Muhammad SAW,’ mesti dipahami sebagai persekutuan dalam pahala. Ini boleh saja. Dari sini para ulama berpendapat bahwa seseorang boleh menyertakan orang lain dalam pahala kurbannya. Secara tekstual, pahala itu didapat bagi orang menyertakan orang lain. Ini jelas, meskipun orang yang disertakan itu sudah wafat. Hal ini didasarkan pada qiyas sedekah atas mayit. Tentu harus dibedakan antara sedekah biasa dan ibadah kurban sempurna. Karena di sini sekadar berbagi pahala kurban dibolehkan. Saya melihat dalil yang memperkuat pernyataan ini seperti pernah dijelaskan di mana hukum ibadah kurban adalah sunah kifayah. Hal ini sejalan dengan bahasan sejumlah ulama yang menyebutkan bahwa pahala orang yang berkurban untuknya dan keluarganya itu sejatinya untuk dirinya sendiri. Karena, orang pertama lah yang berkurban, sama halnya dengan orang yang menunaikan ibadah fardlu kifayah. (lihat Ahmad bin Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, cetakan keempat, tahun 2011, juz 4, halaman 354-355).

 

Bagaimana memahami kurban untuk satu orang sementara pahalanya bisa untuk orang lain? Sulaiman Al-Bujairimi menyelesaikan pernyataan yang tampak kontradiksi itu. Menurutnya, dua pernyataan itu tidak saling menegasikan. Demikian keterangannya:

 

 قَوْلُهُ : ( وَتُجْزِئُ الشَّاةُ ) فَإِنْ قُلْت إنَّ هَذَا مُنَافٍ لِمَا بَعْدَهُ حَيْثُ قَالَ : فَإِنْ ذَبَحَهَا عَنْهُ ، وَعَنْ أَهْلِهِ أَوْ عَنْهُ وَأَشْرَكَ غَيْرَهُ فِي ثَوَابِهَا جَازَ . أُجِيبُ : بِأَنَّهُ لَا مُنَافَاةَ لِأَنَّ قَوْلَهُ هُنَا عَنْ وَاحِدٍ أَيْ مِنْ حَيْثُ حُصُولِ التَّضْحِيَةِ حَقِيقَةً وَمَا بَعْدَهُ الْحَاصِلُ لِلْغَيْرِ إنَّمَا هُوَ سُقُوطُ الطَّلَبِ عَنْهُ ، وَأَمَّا الثَّوَابُ وَالتَّضْحِيَةُ حَقِيقَةً فَخَاصَّانِ بِالْفَاعِلِ عَلَى كُلِّ حَالٍ

 

Artinya: (Satu ekor kambing [untuk satu orang, tidak lebih]). Kalau Anda bertanya, ‘Pernyataan ini menafikan kalimat setelahnya yang menyebutkan (Kalau seseorang menyembelih kurban untuk dirinya dan keluarganya, atau menyertakan orang lain dalam pahala kurbannya, maka boleh)’, kami akan menjawab bahwa pernyataan pertama tidak menafikan pernyataan kedua. Karena, frasa ‘untuk satu orang’ di sini maksudnya adalah hakikat kurban. Sementara frasa selanjutnya hanya menerangkan gugurnya anjuran sunah ibadah kurban ‘untuk orang lain’. Sedangkan perihal pahala dan kurban secara hakiki bagaimanapun itu khusus hanya untuk mereka yang berkurban. (Lihat Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi alal Khathib, Beirut, Darul Fikr, 2007 M/1427-1428 H, juz 4, halaman 333).

 

Ada baiknya kami sertakan di sini argumentasi yang diajukan Ibnu Rusyd dari Madzhab Maliki. Ia menjelaskan kenapa ulama sepakat kurban satu ekor kambing hanya untuk satu orang, sebagai berikut:

 

 وذلك أن الأصل هو أن لا يجزي إلا واحد عن واحد، ولذلك اتفقوا على منع الاشتراك في الضأن. وإنما قلنا إن الأصل هو أن لا يجزي إلا واحد عن واحد، لأن الأمر بالتضحية لا يتبعض إذ كان من كان له شرك في ضحية ليس ينطلق اسم مضح إلا إن قام الدليل الشرعي على ذلك

 

Artinya: Karena memang pada dasarnya ibadah kurban seseorang itu hanya memadai untuk satu orang. Karenanya para ulama sepakat dalam menolak persekutuan kurban beberapa orang atas seekor kambing. Kenapa kami katakan ‘pada dasarnya ibadah kurban seseorang itu hanya memadai untuk satu orang?' Pasalnya, perintah kurban tidak terbagi (untuk kolektif, tetapi per orang). Ketika orang bersekutu atas seekor hewan kurban, maka sebutan ‘orang berkurban’ tidak ada pada mereka. Lain soal kalau ada dalil syara’ yang menunjukkan itu. (lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, halaman 396).

 

 

Dari pelbagai keterangan di atas, kita dapat memahami bahwa ulama sepakat atas kurban satu ekor kambing hanya untuk seorang. Hanya saja pahalanya bisa dibagi kepada orang lain. Jadi dua hal ini harus dipisahkan, antara kurban dan pahala.

 

Dari sini pula kita dapat memahami bahwa hadits adakalanya dapat langsung dipahami secara tekstual. Tetapi adakalanya pemahaman sebuah hadits tertunda karena menuntut analisa dan kajian lebih mendalam, tidak sekadar tekstual.


Editor: 

 


Katib Syuriah NU Pasuruan: Hukum Menyembelih Hewan Kurban di Halaman Masjid
Katib Syuriah NU Pasuruan: Hukum Menyembelih Hewan Kurban di Halaman Masjid

Pasuruan, NU Online Jatim

Menyembelih hewan kurban merupakan salah satu amalan penting saat Idul Adha. Hewan kurban dalam Islam adalah hewan yang disembelih secara khusus untuk tujuan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah.


Proses kurban ini dilakukan pada hari raya Idul Adha (Hari Raya Kurban) yang jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah dan hari Tasryik.


Dalam hal ini, Katib Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Pasuruan, KH Muhib Aman Ali mengatakan, menyembelih hewan kurban di halaman masjid atau mushala hukumnya haram, kecuali di halaman tanah masjid bukan milik masjid atau waqaf.


"Menyerahkan hewan kurban kepada pengurus masjid merupakan wakalah. Ada perwakilan penyerahan kepada pengurus masjid secara pribadi kepada orangnya," ujarnya dalam acara Podcast di Kafe Kalula Kecamatan Kejayaan, Kabupaten Pasuruan, Senin (26/06/2023).


Kiai Muhib menerangkan, tidak ada dalam kitab masjid menerima kurban, karena tujuan kurban untuk disembelih dan diserahkan kepada fakir miskin. Sehingga persolan kurban tidak ada sangkut pautnya dengan masjid.


"Jika kita berkurban tidak boleh menggunakan fasilitas masjid, karena bukan kepentingan masjid. Oleh karena itu, jika ingin menyembelih hewan kurban bisa memanfaatkan kecamatan, balai desa atau lapangan luas," terangnya.


Menurutnya, jika menyembelih hewan kurban di halaman masjid yang tanahnya bukan milik masjid itu diperbolehkan dengan syarat tidak boleh mengotori masjid, menggunakan kas masjid, dan menggunakan fasilitas masjid untuk kepentingan kurban.


Dirinya menegaskan, dalam berkurban keabsahan menjadi yang utama, bagi pengurus masjid jangan semena-mena dalam menjalankan tugas karena ini amanah.


"PCNU akan menerbitkan surat kepada Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama (LTMNU) untuk tidak mengunakan fasilitas masjid, dan PCNU Kabupaten Pasuruan akan menyiapkan panduan berkurban," tutupnya.


Editor: 

 Katib NU Pasuruan Jelaskan Hukum Berkurban menurut Madzhab Syafi’i


Pasuruan, NU Online Jatim

Katib Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Pasuruan, KH Muhib Aman Ali menjelaskan bahwasannya hukum berkurban menurut mazhab syafi'i adalah sunnah kifayah, sehingga tidak ada kewajiban bagi orang yang mampu untuk berkurban. Menurut pendapat lain hukumnya fardhu ain, oleh karena itu bagi yang mampu hendaknya berkurban.


"Sunnah kifayah merupakan kesunahan yang berlaku kolektif, kalau ada yang melakukan kesunahan tersebut akan gugur kepada semuanya," ujarnya dalam acara Podcast di Kafe Kalula Kecamatan Kejayaan, Kabupaten Pasuruan, Senin (26/06/2023).


Menurutnya, kurban bisa menjadi wajib karena dua hal. Pertama nadzar, kedua mempersiapkan hewan kurban. “Contohnya kalau anak saya sembuh saya nadzar kambing, ini saya jadikan kurban, maka hukum kuban menjadi wajib,” terangnya.


Lebih lanjut, nomer dua bid ta’yin dengan mempersiapkan kambing untuk persembahan kurban tetapi dia tidak nadzar, maka harus dikurbankan seperti halnya nadzar.


Pihaknya menjelaskan, hewan yang sudah dipersiapkan untuk berkurban tidak boleh diganti dengan hewan kurban yang lain, dengan demikian hukum kurban menjadi wajib karena harus disembelih.


"Wajib itu karena menyatakan nadzar dan khusus disiapkan untuk kurban," jelasnya.


Dalam kitab juga disebutkan, jika pembeli membeli kambing untuk ikhbar, bukan termasuk golongan orang yang wajib berkurban. Orang yang menyiapkan hewan kurban itu sedikit, namun kebanyakan orang menyatakan ikhbar untuk kurban.


"Jika hanya mengikhbarkan kepada penjual hukumnya tidak wajib untuk dipersembahkan hari raya kurban, namun jika dipersiapkan untuk berkurban maka wajib untuk dikurbankan," tutupnya.

Jumat, 23 Juni 2023

 


60 tahun yang lalu, tepatnya 21-22 Oktober 1945, wakil-wakil dari cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya. Dipimpin langsung oleh Rois Akbar NU Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy’ary dideklarasikanlah perang kemerdekaan sebagai perang suci alias jihad. Belakangan deklarasi ini populer dengan istilah Resolusi Jihad.

Segera setelah itu, ribuan kiai dan santri bergerak ke Surabaya. Dua minggu kemudian, tepatnya 10 November 1945, meletuslah peperangan sengit antara pasukan Inggris melawan para pahlawan pribumi yang siap gugur sebagai syahid. Inilah perang terbesar sepanjang sejarah Nusantara. Meski darah para pahlawan berceceran begitu mudahnya dan memerahi sepanjang kota Surabaya selama tiga minggu, Inggris yang pemenang Perang Dunia II itu akhirnya kalah.

Pasukan Inggris mendarat di Jakarta pada pertengahan September 1945 dengan nama Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Pergerakan pasukan Inggeis tidak dapat dibendung. Sementara pemerintah RI yang berpusat di Jakarta menginginkan berbagai penyelesaian diplomatik sembari menata birokrasi negara baru, mendorong terbentuknya partai-partai politik dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), pasukan Inggris telah menduduki Medan, Padang, Palembang, Bandung, dan Semarang lewat pertempuran-pertempuran dahsyat. Sebagian pendudukan ini juga mendapat bantuan langsung dari Jepang yang kalah perang, sebagai konsekuensi dari alih kuasa. Sedangkan kota-kota besar di kawasan timur Indonesia telah diduduki oleh Australia.

Pasukan Inggris lalu masuk ke Surabaya pada 25 Oktober 1945, berkekuatan sekitar 6.000 orang yang terdiri dari serdadu jajahan India. Di belakangnya membonceng pasukan Belanda yang masih bersemangat menguasai Indonesia. Resolusi Jihad meminta pemerintah untuk segera meneriakkan perang suci melawan penjajah yang ingin berkuasa kembali, dan kontan disambut rakyat dengan semangat berapi-api. Meletuslah peristiwa 10 November. Para kiai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan non reguler Sabilillah yang dikomandani oleh KH. Maskur. Para santri dan pemuda berjuang dalam barisan pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin. Sementara para kiai sepuh berada di barisan Mujahidin yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah.

Di saat-saat yang bersamaan, saat-saat perang kemerdekaan sedang berkecamuk dan terus digelorakan oleh para kiai dan santri, dinamika dan persaingan politik dalam negeri semakin memanas. Pada bulan Oktober Partai Komunis Indonesia (PKI) didirikan kembali. Lalu setelah Makloemat Iks (4 November) dikeluarkan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta, partai-partai politik lain juga bermunculan. Dideklarasikanlah Pesindo dan partai Islam Masyumi. Lalu, Maklumat Hatta 11 November mengubah pemerintahan presidensial menjadi parlementer, pemerintah harus bertanggungjawab kepada KNIP yang berfungsi sebagai parleman. Kabinet parlementer ditetapkan pada 14 November, dipimpin Perdana Menteri Sjahrir dan Mentri Keamanan Amir Syarifudin.

Januari 1946, PNI dibentuk lagi tanpa Soekarno. Di sisi lain, “Tentara profesional” dan kelompok gerilyawan melakukan konsolidasi. Pada saat-saat itu juga Indonesia sedang mengalami “revolusi sosial” hingga ke desa-desa. Pertikaian merajalela dan kekacauan tak terhindarkan lagi. Waktu itu timbul pertikaian horisontal yang terkenal dengan “Peristiwa Tiga Daerah” yakni Brebes, Pemalang dan Tegal. Kondisi inilah, tak pelak memberi peluang bagi upaya-upaya militer Belanda (yang sebelumnya datang membonceng sekutu) untuk semakin merangsek masuk menguasai kota-kota besar di Indonesia. Belanda semakin intensif menguasai Jakarta, sehingga Pemerintah Republik terpaksa mengungsi ke Yogyakarta pada Januari 1946.

Maret 1946, PM Sjahrir mencapai kesepakatan rahasia dengan van Mook bahwa Belanda mengakui kedaulatan RI secara de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatera. Sementara Belanda berdaulat atas wilayah-wilayah lainnya. Kedua belah pihak juga menyepakati rencana pembentukan uni Indonesia-Belanda.

Di tengah tekanan Belanda itu NU menyelenggarakan muktamar yang pertama setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Muktamar ke-16 itu diadakan di Purwekorto pada 26-29 Maret 1946. Salah satu keputusan pentingnya, NU menyetuskan kembali Resolusi Jihad yang mewajibkan tiap-tiap umat Islam untuk bertempur mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang saat itu berpusat di Yogyakarta. Kewajiban itu dibebankan kepada setiap orang Islam, terutama laki-laki dewasanya, yang berada dalam radius 94 km dari tempat kedudukan musuh. (Radius 94 diperoleh dari jarak diperbolehkannya menjamak dan menqoshor sholat). Di luar radius itu umat Islam yang lain wajib memberikan bantuan. Jika umat Islam yang dalam radius 94 kalah, maka umat Islam yang lain wajib memanggul senjata menggantikan mereka.

Dalam podatonya, Mbah Hasyim Asy’ari kembali menggelorakan semangat jihad di hadapan para peserta muktamar. untuk disebarkan kepada seluruh warga pesantren dan umat Islam. Syariat Islam menurut Mbah Hasyim tidak akan bisa dijalankan di negeri yang terjajah. ”…tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan.” Kaum penjajah datang kembali dengan membawa persenjataan dan tipu muslihat yang lebih canggih lagi. Umat Islam harus menjadi pemberani.

Apakah ada dari kita orang yang suka ketinggalan, tidak turut berjuang pada waktu-waktu ini, dan kemudian ia mengalami keadaan sebagaimana yang disebutkan Allah ketika memberi sifat kepada kaum munafik yang tidak suka ikut berjuang bersama rasulullah…

Demikianlah, maka sesungguhnya pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun.
Barang siapa memihak kepada kaum penjajah dan condong kepada mereka, maka berarti memecah kebulatan umat dan mengacau barisannya….. 
… maka barang siapa yang memecah pendirian umat yang sudah bulat, pancunglah leher mereka dengan pedang siapa pun orangnya itu…..

Perang terus berkecamuk, jihad terus berlangsung. Belanda yang sebelumnya membonceng tentara Sekutu terus melancarkan agresi-agresi militernya. Pihak Inggris sebenarnya tidak senang dengan cara-cara yang ditempuh oleh Belanda. Pada Desember 1945 pemerintah Inggris secara tidak resmi mendesak pemerintah Belanda agar agar mengambil sikap yang lebih luwes terhadap Republik Indonesia. Pada 1946 diplomat Inggris, Sir Archibald Clark Kerr, mengusahakan tercapainya persetujuan Linggarjati antara republik Indonesia dengan Belanda. Persetujuan ditandatangani, namun Belanda tiba-tiba meancarkan agresi militernya. Menjelang akhir 1946, komando Inggris di Asia Tenggara dibubarkan, dan ”tanggung jawab” atas Jawa dan Sumatera diserahkan sepenuhnya kepada Belanda. Sejak itu, orang asing yang semakin terlibat dalam pertikaian antara Republik Indonesia dan Belanda, menggantikan Inggris, adalah Amerika Serikat. Mungkin sampai sekarang. 

(A Khoirul Anam)